Ciclesonid: kortison baru, apanya yang baru?

Di samping betamimetika inhalatif, kortison inhalatif merupakan obat yang bisa dibilang terpenting dalam terapi asthma bronchiale dan COPD. Kita mengenal budesonid, flutikason dll. yang beredar di pasaran.

Sejak awal 2005 sebuah kortison baru telah diluncurkan ke pasar dalam bentuk obat hisap cair (spray). Baru? Apanya yang baru? Apakah ini semua hanya kiat reklame saja untuk meningkatkan angka penjualannya?

Marilah kita simak dulu sifat-sifat kortison inhalatif ini. Ciclesonid adalahKortison yang dijual dalam bentuk obat sedot atau inhalatif dengan therapie indikasi asthma bronchiale, COPD dan juga batuk kronis (mengenai batuk kronis ini akan saya bahas dalam postingan lain). Zat awalnya merupakan senyawa yang inaktif dan baru diubah menjadi bentuk aktifnya (desisobutiril-ciclesonid) di organ tujuan, yakni paru-paru, oleh esterase endogen. Baru zat aktif inilah yang mengembangkan sifat-sifat antiinflamatoris seperti pada kortison yang lain. Di bagian-bagian lain yang dilaluinya (mulut, tenggorokan, trachea) ciclesonid belum mengembangkan efeknya, sehingga efek sampingan di tempat-tempat tersebut menjadi lebih berkurang. Farmakodinamik: Dalam beberapa studi in vitromenunjukkan, bahwa zat awal ciclesonid memiliki afinitas relatif terhadap reseptor (RRA: Relative Receptor Affinity) glukokortikoid sebesar 12 (angka bandingan ialah untuk deksametason: 100). Sedangkan RRA dari desisobutiril-ciclesonid (DC) mencapai 1200 (budesonid 900, beklometason-monopropionat 1345 dan flutikasonpropionat 1800). Makin tinggi RRA-nya, makin bagus efek klinisnya. Berarti DC mempunyai efek klinis yang bisa dibandingkan dengan efek-efek kortison lain yang disebut di atas. Sedangkan efek antiinflamatoris DC ternyata bisa disejajarkan dengan kortison inhalatif yang lain. Dalam sebuah percobaan, ternyata ciclesonid yang diberikan intratrakeal kepada tikus mengurangi eosinofili di saluran pernafasan. Efek ini bisa sebanding dengan budesonid dan flutikason. Satu hal lagi yang penting ialah supresi terhadap kortisol. Dengan dosis antara 400 s/d 1600 µg, tampaknya ciclesonid hampir tidak mempunyai efek yang tidak diinginkan terhadap kelenjar adrenal.

Farmakokinetik: Singkatnya, ciclesonid memiliki kadar deposisi yang lebih tinggi (68%) dibanding kortison inhalatif lain dan pembagian yang lebih merata ke segmen-segmen paru-paru. Selain itu, dengan bioavailibility oral yang lebih kecil dari 1% (kortison lain sampai 26%), ciclesonid mempunyai risiko efek sampingan yang jauh lebih kecil di daerah mulut/tenggorokan).

Plasma binding capacity PBC): PBC dari ciclesonid tinggi sekali, sehingga hanya lebih sedikit dari 1% dari ciclesonid dan DC yang berada dalam sirkulasi darah merupakan zat-zat “bebas”. Ini berarti 10 x lebih sedikit dari kortison lain. Dengan tingginya PBC ini bisa dijelaskan kecilnya efek kortison ini terhadap kelenjar adrenal.

Metabolisme: Ciclesonid diubah dalam sel (intraseluler) menjadi metabolit aktifnya: desisobutiril-ciclesonid,setelah sebelumnya mengalami katalisa oleh esterase di paru-paru. Kemudian DC di-inaktif-kan lagi di hati (liver). Di paru-paru DC dikonjugasi dengan fatty acids menjadi senyawa lipid, dari mana lambat laun DC didistribusikan ke paru-paru, sehingga efek antiinflamatoris zat ini diperpanjang. Dengan ini jelaslah, kenapa ciclesonid pada prinsipnya bisa hanya diberikan 1 x per hari.

Eliminasi: Ciclesonid terutama dan hampir seluruhnya dieliminasi bersama dengan feses. Dengan klerance setinggi 396 i/h, secara sistemis DC hanya berda dalam jumlah minimal, dengan demikian efek sampingan sistemisnya dengan sendirinya kecil.

Jadi, apa kesimpulannya?

Kalau menurut brosur perusahaan, memang ciclesonid merupakan kortison inhalatif yang saat ini paling bagus, karena

1. Zat ini baru diaktifkan di organ tujuan, sehingga efek sampingan di daerah-daerah yang dilalui (rongga mulut, tenggorokan dan trakea) teoretis tidak akan timbul lagi. Apakah efek sampingan ini? Ialah: candidiais oral dan serak.

2. Efek sampingan sistemis-nya juga minimal sekali (supresi kelenjar adrenal, penghambatan pertumbuhan dll.).

3. Dengan lambatnya distribusi ke paru-paru (lihat di atas), maka jangka waktu efek antiinflamatorisnya pun menjadi panjang (seperti pada sistem retarded release).

Pengalaman pribadi:

Sejak diluncurkannya ciclesonid ke pasar, saya sudah sering memberikan obat ini kepada pasien. Menurut pengamatan saya, efeknya tidak kalah dan bisa dibandingkan dengan kortison inhalatif lain. Keunggulannya terletak terutama pada hilangnya efek sampingan lokal di mulut/tenggorokan. Mengenai efek supresi terhadap kelenjar adrenal, dengan kortison inhalatif lainpun saya belum pernah mengamatinya secara langsung. Sering pasien-pasien penyakit paru-paru kronis memerlukan üengobatan tambahan dengan kortison sistemis, sehingga tidak bisa atau sulit sekali memutuskan, apakah supresi kortisol yang terjadi tidak dari kortison sistemis yang dosisnya biasanya jauh lebih besar. Sedangkan khusus dengan ciclesonid, saya belum pernah menemui pasien yang mengalami supresi kelenjar adrenal, kalau tidak ada tambahan kortison oral atau intravenos. Juga lamanya jangka waktu efektivitasnya merupakan sebuah keunggulan lain.

Menurut saya, kortison baru ini sebuah prestasi inovatif dalam bidang pengobatan beberapa tahun terakhir ini. Mudah-mudahan tidak lama lagi diluncurkan ke pasaran di Indonesia.

9 Responses to Ciclesonid: kortison baru, apanya yang baru?

  1. helgeduelbek berkata:

    OOT: Walah ternyata tukang komentar itu….

  2. tukangkomentar berkata:

    helgeduelbek,
    cuma mau bagi ilmu yang dikit ini, mas.

  3. cakmoki berkata:

    Hahaha, pak Guru baru tahu ya.

    Siiip, seperti baca farmakologi, lengkap, langsung ngerti dah.
    Pengalaman klinis berarti setahun lebih.
    Saya terpesona bisa kerja 24 jam.
    Indonesia belum nih 😀

  4. tukangkomentar berkata:

    Cakmoki,
    dan yang juga menarik: biayanya kalau dihitung perhari tidak lebih tinggi dari kortison yang lain. Kalau kita lihat, bahwa efek sampingan (seperti candidiasis oral) itu memerlukan pengobatan juga, maka biayanya malah lebih rendah, kan? (walah, seperti reklame saja, nih!).
    Juga pemberian yang cuma sekali per hari itu digemari oleh para pasien.
    Yah, mudah-mudahan bisa segera beredar di Indonesia.

  5. cakmoki berkata:

    Maaf, tadi sempat mati lampu sebentar (rutin), tumben ini cepat nyala.
    Ya sama persoalannya, yang sudah ada berefek samping oral dan serak.
    Kalo bisa mengatasi persoalan tersebut dan long acting bisa jadi pilihan.
    Harga jika di kurs rupiah sampai berapa pak ?

  6. tukangkomentar berkata:

    Kalau di Jerman, ciclesonid dalam bentuk spray (160 µg berisi 120 x inhalasi) harganya kalau dirupiahkan kira-kira Rp. 650.000,-, dibandingkan dengan Flutide (flutikason) 50 µg yang berisi 120 x inhalasi dan seharusnya diberikan 2 x sehari harganya di sana kira-kira Rp. 300.000,-.
    Jadi biaya perhari untuk ciclesonid: Rp.5400 ,-, sedangkan untuk Flutide Rp. 5000,-. Ini harga Eropa, kalau yang saya baca dari posting anda, harga di Indonesia lain kok,ya?

  7. Dani Iswara berkata:

    [OOT]
    Dok, mungkin ditambahin: tulisan ini tdk terkait dgn promosi produk tertentu..(kalau pun iya ya gpp..makan2nya aja..) 😀

    gak meriahin MLDI lg Dok..? 😀

  8. tukangkomentar berkata:

    Dani Iswara ,
    memang ngaku sedikit promosi, soalnya saya memang mempunyai pengalaman bagus untuk pasien dengan obat ini (tapi promosinya nggak dibayar oleh perusahaannya lho!) 🙂

  9. tukangkomentar berkata:

    Oh, ya, soal MLDI: saya bukan pakar kok.

Tinggalkan Balasan ke helgeduelbek Batalkan balasan